Fenomena gagal ginjal pada anak yang diduga diakibatkan oleh obat sirop yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas menjadi perhatian Komisi IV DPRD Purworejo.
Terkait fenomena tersebut, sejumlah perusahaan obat juga telah dinyatakan bertanggung jawab atas beredarnya obat sirop tersebut. Selain perusahaan obat, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Purworejo menilai pihak yang mestinya turut bertanggung jawab atas kejadian ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bukan tanpa alasan, menurut Komisi IV BPOM lah yang seharusnya bertanggung jawab untuk menyaring, dan memantau obat-obatan yang beredar di masyarakat.
“Terkait kemudian banyaknya obat-obatan terutama sirop yang membahayakan kesehatan masyarakat, ini kami nilai salah satu keteledoran dari BPOM,” kata Abdullah, saat ditemui di gedung B DPRD Purworejo, Selasa (15/11).
Abdullah melihat, keteledoran BPOM dalam peredaran obat sirop ini adalah dari segi pengawasan. BPOM dinilai telah kecolongan dan tidak teliti terhadap peredaran obat-obatan di Indonesia. Seharusnya, kata Abdullah, BPOM seharusnya secara intensif dan berkala melakukan pengujian atau sampling terhadap obat-obatan yang beredar, sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi.
“Dalam pengawasannya berarti masih kecolongan, tidak teliti, dan kemudian mungkin dari BPOM tidak pernah melakukan sidak ke beberapa apotek, tidak pernah memeriksa, mencari sampel-sampel di beberapa apotek, terhadap obat-obatan sirop yang membahayakan masyarakat,” jelasnya.
Dimungkinkan, tambah Abdullah, pada saat perusahaan obat mengajukan sampel di BPOM, obat tersebut kandungannya memang sesuai dengan ketentuan, tetapi pada tataran pelaksanaan penjualan di lapangan mungkin beda dengan sampel awal.
“Sehingga BPOM harusnya tidak hanya menguji sampel (awal) yang diajukan oleh perusahaan obat, tapi juga menguji obat-obat yang sudah beredar di masyarakat apakah sesuai dengan ketentuan atau tidak,” pungkasnya. (HK)