Proses regrouping 36 Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Purworejo sempat menemui berbagai kendala, bahkan menimbulkan beberapa permasalahan sebelum akhirnya berhasil diselesaiakan. Namun, sebelum regrouping tahun 2022 ini berjalan, DPRD Kabupaten Purworejo sebenarnya telah memprediksi bahwa memang akan ada berbagai permasalahan yang akan terjadi. Kendala-kendala yang dialami dalam proses regrouping tahun 2022 ini sebagian besar adalah dari non teknis.
“Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sudah kita prediksi dari awal, tetapi kendala yang dihadapi kemarin, seberat apapun karena itu merupakan komitmen bersama, dan tujuannya baik, sampai hari ini bisa diselesaikan dengan baik,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Purworejo, Muhammad Abdullah pada kegiatan evaluasi regrouping, di UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Kemiri, Selasa (6/12).
Regrouping ini, kata Abdullah, dilakukan karena dua hal, yang pertama terkait ketersediaan tenaga guru, yang kedua terkait biaya operasional bagi sekolah yang siswanya sedikit.
“Kami di Komisi IV saat itu setelah berdiskusi panjang lebar dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, prinsipnya adalah menyetujui, karena demi meningkatkan kualitas belajar mengajar bagi anak-anak,” terangnya.
Setelah adanya persetujuan, lanjutnya, setelah itu dipetakan oleh Dinas Pendidikan sekolah mana di Purworejo yang siswanya sedikit, yang gurunya kurang dan sebagainya. Kemudian ditentukan ada 36 sekolah yang diregrouping.
“Pada saat itu ketika kita berdiskusi soal regrouping, itu sudah muncul potensi kendala-kendala yang akan dihadapi. Kendala yang akan dihadapi justru bukan kendala teknis, tetapi saat itu sudah terpikirkan bahwa kendala yang akan dihadapi lebih banyak kepada kendala non teknis, yang paling besar berpotensi bermasalah adalah politik lokal di desa itu sendiri. Pada tataran pelaksanaan ternyata benar,” terangnya.
Dijelaskan, banyak muncul penolakan terkait regrouping ini baik dari wali murid, komite, maupun warga sekitar. Meskipun dalam argumentasi penolakan regrouping seperti menyampaikan persoalan teknis, tetapi hakikatnya sebanarnya bukan masalah teknis, tetapi masalah politik yang menjadi alasan sejumlah penolakan tersebut.
“Kadang-kadang di desa tersebut (yang sekolahnya diregrouping), karena imbas Pilkades misalkan, lalu masyarakat mengatakan kalau misal sini sekolahnya ditutup, kepala desanya ini lalu dianggap nggak mampu, muncul gengsi, desa kalau tidak ada SD seolah-olah menjadi tidak maju,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, muncul juga kecemburuan antara desa yang SD-nya di regrouping dan yang tidak.
“Maka muncul fenomena para siswa yang sekolahnya di regrouping tidak mau pindah ke SD yang lebih dekat, tetapi malah memilih sekolah yang lebih jauh,” pungkasnya. (HK)